February 2006 Monthly Screening: Chick Flicks: A Tribute to Women in Pictures
Kebanyakan film Hollywood menempatkan perempuan sebagai karakter dengan formula tertentu: berparas jelita, berpostur ideal, berkulit mulus, dan selalu membutuhkan makhluk bernama laki-laki. Atau dalam formula ekstrem lainnya: berotak encer, berotot kawat, berhati baja, dan mempersetankan laki-laki. Beberapa chick flicks Hollywood menjejali pemirsanya dengan formula tersebut dalam dosis berlebihan, sehingga definisi "perempuan" seolah-olah telah usai dirumuskan.
kineruku, dalam penayangan bulanan kali ini, menghadirkan beberapa film dengan pendekatan yang berbeda dalam memaknai arti kata "perempuan". Dengan tiga variasi pandangan sutradara, kineruku menghadirkan ruang untuk berdiskusi dan memberi "tanda koma" pada perumusan baku definisi tersebut.
Jean-Luc Godard, seorang womanizer, yang mendedikasikan karier sinematisnya pada tema-tema seputar masalah hubungan laki-laki dan perempuan, menyajikan filmnya lebih sebagai "pertanyaan" ketimbang "pernyataan" tentang apa sebenarnya "perempuan". Agnes Varda, sutradara perempuan yang juga aktivis Left Bank di Paris, menjadikan filmnya sebagai pernyataan yang mendobrak stereotip perempuan lemah yang dicitrakan dunia patriarkal. Luc dan Jean-Pierre Dardenne, dua bersaudara yang berlatar belakang film dokumenter, memadukan pengetahuan mereka dengan kaidah fiksi, untuk menggambarkan keresahan seorang perempuan muda dalam memperjuangkan hidup di tengah dunia yang tidak bersahabat.
Selamat memaknai dan merayakan perbedaan.
Film Programmer kineruku
Ariani Darmawan, Budi Warsito, Tumpal Tampubolon
Jadwal Pemutaran:
1. Rosetta (Luc and Jean-Pierre Dardenne, Belgium, 1999) Sabtu, 11 Februari 2006, Pk. 15.00 WIB.
2. Cleo from 5 to 7 (Agnes Varda, France, 1962) Sabtu, 18 Februari 2006, Pk 15.00 WIB.
3. A Woman is a Woman (Jean-Luc Godard, France, 1961) Sabtu, 25 Februari 2006, Pk. 15.00 WIB.
====
rosetta
Luc and Jean-Pierre Dardenne, Belgium, 1999. Color, 95 min, French with English subtitle.
Dibuka dengan adegan menghentak, seorang gadis muda mengamuk di sebuah pabrik ketika mendapati dirinya diberhentikan dari pekerjaanya, Rosetta adalah sinema minimalis tentang perjuangan berat menghadapi hidup yang tak mudah dan dunia yang tak ramah. Terusir dari tempat kerjanya, keadaan tidak menjadi lebih baik ketika Rosetta pulang dan mendapati ibunya, seorang pemabuk kambuhan sedang bermain gila dengan pria yang menyewakan rumah trailer untuk mereka. Hidup sudah sangat memuakkan bagi Rosetta, dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun pekerjaan itu pun tak kunjung datang. Gerakan kamera hand-held yang mengikuti Rosetta sepanjang film dengan efisien menangkap kegelisahan dan kekalutannya menghadapi penolakan demi penolakan.
Yang menakjubkan dari film ini adalah minimnya dialog, yang justru mampu bercerita secara subtil hanya dengan menggunakan kekuatan gambar—sebuah seni yang nyaris punah di dunia sinema saat ini. Keputusan berani sutradara untuk selalu memakai close-up shot kian menegaskan kekuatan film ini: wajah Rosetta menjadi begitu “telanjang” dan transparan, hingga kita dapat merasakan kecamuk di dalam benak dan batinnya—sebuah paradoks untuk film yang sangat pelit akan informasi tentang tokoh utamanya. Transfer emosi yang kurang lebih sama ketika kita menatap wajah Renée Marie Falconetti di film La Passion de Jeanne d'Arc (1928), sebuah film bisu klasik karya Carl Theodor Dreyer. Mencengangkan sekaligus mengharukan.
Latar belakang film dokumenter dari Dardenne bersaudara memberikan sentuhan unik pada karya film fiksi kedua mereka ini (debut film fiksi mereka, La Promesse di tahun 1996, juga merupakan sebuah potret menyentuh tentang masa muda). Penonton kerap disuguhkan momen-momen “kecil” yang sebenarnya tidak menyokong perkembangan plot sama sekali (jika plot itu memang ada). Seperti ketika Rosetta berusaha meredakan rasa sakit kram perut akibat menstruasi dengan memakai alat pengering rambut, atau “ritual” misteriusnya tiap pulang kerja: memancing di sebuah telaga di tengah hutan. Metode yang mengingatkan kita pada spirit gerakan neorealisme di akhir era 1940-an, sebuah gerakan yang berikrar untuk memotret kehidupan sejujur-jujurnya sebagai lawan dari kecenderungan sinema saat itu, atau bahkan hingga saat ini: eskapisme. Kejujuran ini diganjar dengan anugerah tertinggi Palem Emas di Cannes Film Festival tahun 1999, sekaligus aktris terbaik bagi Emilie Dequenne, yang masih berumur 18 tahun ketika memerankan karakter Rosetta. [TT]
cleo from 5 to 7
Cléo de 5 à 7 — Agnes Varda, France, 1962. Black and White, 90 min, French with English subtitle.
Ketika semua orang mengganggap Jean-Luc Godard, François Truffaut, dan Alain Resnais sebagai dewa-dewa sinema French New Wave, Agnes Varda seakan dilupakan di sudut terpencil kota Paris. Padahal karya-karyanya yang sarat akan komentar sosial memiliki nilai estetis dan ekspresi personal yang tak kalah tinggi dibandingkan sutradara-sutradara French New Wave lainnya. Mungkinkah keterbenaman namanya disebabkan pemikiran-pemikiran feminis yang ia suarakan di dunia yang telah terlanjur didominasi oleh para pria? Cleo From 5 to 7 membuktikan bahwa siapa pun yang tidak menempatkan Varda di jajaran sutradara terpenting dunia, adalah salah.
Film ini mengabadikan 2 jam kehidupan Cleo—seorang penyanyi tenar yang terobsesi dengan kecantikannya—ketika ia menghabiskan waktu untuk menunggu keputusan dokter tentang penyakit yang dideritanya. Dalam kerentanan dan ketakutan Cleo berkeliling mencoba menyaksikan kembali gambaran-gambaran di sekitarnya dengan pandangan baru: sang pacar yang terlalu sibuk dan menganggapnya sebagai riasan belaka, sang sahabat yang berpose sebagai model bagi para pematung dan begitu bangga (namun tidak bahagia) akan keindahan tubuhnya, hingga tentara muda yang memberikannya pandangan baru akan cinta dan kehidupan. Dalam pergantian waktu yang singkat tersebut Cleo mendapati bahwa kehampaan dalam dirinya yang menyakitkan adalah sekaligus penawar penderitaannya. Di akhir cerita ia seakan mencabut kembali kata-kata yang ia ucapkan untuk menghibur dirinya di awal film: "As long as I'm beautiful, I'm alive."
Dalam film berdurasi 90 menit ini, Agnes Varda dengan pandai mengenakan perangkat-perangkat sinema French New Wave—teknik editing jump cuts yang menjadi ciri khas gerakan tersebut, penggunaan voice over juga metode-metode dokumenter lainnya—dan sekaligus dengan berani mendobraknya dengan menampilkan sebuah cerita melodramatis, puitis, dan hampir-hampir romantis. Kamera yang dengan dinamis menggerakkan sudut pandang dari orang pertama, kedua, hingga ketiga menggambarkan kelincahan sekaligus kegelisahan Cleo, yang secara langsung menjadikan film ini sebuah karya personal seorang sutradara perempuan terbesar abad 20. Seperti layaknya sebuah mantel hasil rajutan tangan, film ini memberikan kehangatan dan kepuasan tidak hanya bagi si pembuat, tetapi juga para pengguna dan penikmatnya. [AD]
a woman is a woman
Une femme est une femme — Jean-Luc Godard, France, 1961. Color, 84 min, French with English subtitle.
Di sebuah sudut kota Paris tahun 1960-an, Angela, seorang penari striptease berwajah melankolis, bermimpi bisa tampil di pergelaran musikal yang megah bersama Gene Kelly. Namun ada satu impian sederhana yang lebih mendesak dari segalanya: dia ingin segera hamil dan punya anak. Emile, sang pacar yang tinggal serumah, menolak. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Sementara Alfred, teman baik mereka berdua, kebetulan juga menaruh hati kepada Angela. Sebuah plot cerita yang sekilas tampak sederhana. Namun di tangan seorang Jean-Luc Godard, semuanya bisa jadi berbeda.
Gerakan sinema French New Wave sedang berada di puncak-puncaknya ketika Godard kembali datang dengan film panjang ketiganya, A Woman is A Woman (1961). Jika di Breathless (1959) Godard menunjukkan kecintaannya pada film-film B-movies Amerika, kali ini ide film musikal menjadi laboratorium barunya. Dimaksudkan sebagai penghormatan kepada film-film musikal Hollywood era 1950-an, film A Woman is A Woman justru berhasil tampil dengan gayanya sendiri yang unik, dan tidak serta-merta musikal. Plot ménage a trois yang simpel—kisah cinta segitiga antara 1 perempuan dan 2 laki-laki, dengan porsi utama pada perempuan—bisa jadi telah dianggap klise dan usang, namun yang menakjubkan adalah usaha Godard dalam mengolahnya menjadi sesuatu yang tidak biasa, baik dari segi cerita maupun bahasa gambar. Eksperimennya yang tak terbatas—bermain-main dengan teknik editing jump cuts, termasuk tiba-tiba memenggal scoring di tengah-tengah adegan, gerakan kamera hand-held, juga panning yang cerdas dan pilihan menambahkan teks di beberapa adegan—menjadikan film ini sebuah sajian visual yang menggetarkan.
Pilihan Godard yang sering mengambil karakter perempuan terpinggirkan—penari striptease di film ini, dan perempuan pelacur di film berikutnya, My Life to Live (1962)—sebagai tokoh utama bisa menjadi perbincangan tersendiri yang terlalu menarik untuk dilewatkan. Dengan film A Woman is A Woman ini, Godard seakan mengajak kita untuk berusaha menyelami pikiran perempuan, yang merupakan sebuah misteri tersendiri baginya. Atau bahkan bagi sebagian besar kita, yang apa boleh buat, hidup di dunia yang masih dipenuhi wacana patriarkal. Seperti ketika pertanyaan "Is it a comedy or a tragedy?" dilontarkan di sebuah adegan, dan salah satu tokohnya menjawab: "With women, we’ll never know…" Seorang perempuan adalah seorang perempuan. [BW]
=====
kineruku @ Rumah Buku
Jl. Hegarmanah 52
Bandung, 40141
Telp 022-2039615
kineruku@yahoo.com
http://www.rumahbuku.info
0 Comments:
Post a Comment
<< Home