Saturday, April 15, 2006

March-Aprl 2006 Monthly Screening: How To Be a Psychopath in 4 Weeks



Genre sinema psychological thriller sejatinya adalah suatu bentuk seni tersendiri, yang terfokus pada ketrampilan mengolah rasa tercekam. Seni itu makin ditinggalkan, ketika film-film dengan label genre tersebut kini justru memberi porsi lebih pada sensasi kengerian yang vulgar: darah muncrat, daging terburai, musik latar yang berlebihan, dan twisted ending yang kian terasa usang.

kineruku, dalam program kali ini, menyajikan beberapa film yang mewakili harta karun dari kekayaan genre tersebut. Film M garapan Fritz Lang adalah film pertama yang mengangkat karakter paedofil sekaligus pembunuh berantai sebagai tokoh utamanya. Psycho, salah satu mahakarya Alfred Hitchcok, merupakan contoh brilian tentang bagaimana cara mengemas film psychological thriller yang baik dan benar. With A Friend Like Harry... adalah lelucon sinis Dominik Moll atas sisi gelap kehidupan seorang psikopat. Michael Haneke, melalui Funny Games, menawarkan pandangan postmodern yang mempertanyakan kembali seluruh kaidah genre tersebut.

Selamat menjadi psikopat di minggu keempat.

Film Programmer kineruku
Ariani Darmawan, Budi Warsito, Tumpal Tampubolon


Jadwal Pemutaran:
Sabtu, 18 Maret 2006, pukul 15.00 WIB: M (Fritz Lang, Germany, 1931)
Sabtu, 25 Maret 2006, pukul 15.00 WIB: With A Friend Like Harry… (Dominik Moll, France, 2000)
Sabtu, 8 April 2006, pukul 15.00 WIB: Psycho (Alfred Hitchcock, USA, 1960)
Sabtu, 15 April 2006, pukul 15.00 WIB: Funny Games (Michael Haneke, Austria, 1997)


m
Fritz Lang, Germany, 1931. Black and White, 118 min, German with English subtitle.

Film ini diangkat dari kisah nyata tentang Peter Kürten, “Vampir dari Dusseldorf”, seorang pembunuh berantai yang meneror kota Dusseldorf, dari Februari 1929 hingga Mei 1930. Kesembilan korbannya adalah perempuan, empat di antaranya anak-anak. Naskah film yang ditulis Fritz Lang dan istrinya, Thea von Harbou, nampaknya memiliki perhatian tersendiri untuk mengingatkan para ibu agar menjaga anak-anak mereka. Dengan embel-embel pesan moral seperti itu, film ini tak lantas jatuh menjadi moralistik. Tangan dingin sang sutradara justru menjadikannya studi menarik tentang paranoia, kemuraman, dan modernitas yang melanda masyarakat Jerman pasca Perang Dunia I. Film bersuara Fritz Lang yang pertama ini sekaligus menandakan comeback-nya ke percaturan sutradara kelas dunia, setelah sebelumnya menyutradarai salah satu film (bisu) terbaik sepanjang masa, Metropolis (1926).

Keberaniannya memadukan gaya Objektivitas Baru alias Die Neue Sachlichkeit (sebuah aliran seni di Jerman tahun 1920-an yang mencoba merepresentasikan realitas seobjektif mungkin) dengan German Expressionism (aliran seni yang berusaha mengkomunikasikan emosi dari sang seniman melalui hiperbola dan distorsi realitas), menjadikan film ini sarat dengan gaya visual dan mood yang unik. Gaya ini kemudian mengilhami ratusan bahkan ribuan film noir yang menjamur di era ’40-an hingga ‘50-an, baik di Hollywood maupun di Eropa. Dan figur Hans Beckert si pembunuh berantai (diperankan dengan sempurna oleh Peter Lorre) menjadi bahan contekan untuk setiap aktor yang akan memerankan seorang psikopat.

Jangan pernah mengaku pencinta film jika Anda belum menonton M, nenek moyang dari semua film bergenre psycho-thriller. [TT]


with a friend like harry…
Harry, un ami qui vous veut du bien — Dominik Moll, France, 2000. Color, 117 min, French with English subtitle.

Kejadian aneh dan menakutkan acapkali muncul justru di saat kita tidak sedang siap menghadapinya. Dan karenanya, terasa begitu mengerikan. Begitu pula yang terjadi pada Michel, tokoh utama dalam film psychological thriller yang sarat dengan humor gelap ini. Di suatu siang perjalanannya menuju vila bobrok peristirahatan keluarga, Michel bertemu Harry, seorang teman lama yang tidak lagi ia kenali. Sebaliknya, Harry ingat benar segalanya tentang Michel, siapa orang tuanya, bekas pacarnya, juga terutama, puisi-puisi yang dulu ia tulis ketika SMA. Sejak saat itu, bagaikan permen karet, Harry pun mengundang dirinya masuk dan menempel di kehidupan Michel beserta istri dan ketiga anak perempuannya. Harry, yang begitu gemar 'menolong', tak tega melihat kehidupan Michel yang dinilainya berantakan. Harry juga berusaha membantu 'sedemikian rupa' agar Michel dapat hidup dengan nyaman. Juga, sesuai dengan obsesi Harry, agar Michel dapat kembali menulis puisi-puisi yang ia kagumi.

With A Friend Like Harry... adalah film tentang obsesi, fantasi dan realitas. Buruknya kehidupan Michel adalah jendela fantasi akan kehidupan yang sempurna bagi Harry. Sedangkan bagi Michel, fantasi telah hilang ditelan oleh beratnya beban seorang kepala keluarga yang harus ia jalani. Walaupun Michel dan Harry hidup dalam dunia yang terpisah, di akhir cerita, kegilaan Harry-lah yang kemudian mengaspal jalan hidup Michel yang berlubang. Dalam hal ini, sutradara Dominik Moll seakan ingin mengatakan kepada kita: bahwa tanpa bantuan sisi gelap, manusia tidak akan pernah bisa mencapai kebahagiaan dirinya.

Film ini menggambarkan betapa hidup adalah realita kegilaan dan absurditas. Adalah misteri bagaimana manusia dapat melaluinya, hari demi hari. [AD]


psycho
Alfred Hitchcock, USA, 1960. Black and White, 108 min, English.

Norman Bates adalah pemuda canggung yang mengelola motel misterius, di sudut antah berantah sebuah kota kecil. Dia seorang penyendiri, dengan hobi aneh mengawetkan burung-burung, dan yang agak keterlaluan: mengintip tamu-tamunya. Hubungan dekatnya dengan sang ibu juga terasa janggal dan berlebihan, yang dalam istilahnya sendiri: “a boy's best friend is his mother.” Alfred Hitchcok, si raja film-film mencekam, memperkenalkan tokoh Norman Bates ke layar lebar, dan sukses menjadikannya ikon legendaris untuk standar istilah “psikopat”.

Diangkat dari novel picisan karya Robert Bloch, film thriller klasik Psycho diproduksi dalam format hitam-putih (karena “terlalu mengerikan jika dibuat berwarna,” kata Hitchcock), dengan kru-kru yang biasa bekerja untuk program televisi, dan biaya produksi yang sangat murah, bahkan untuk standar film saat itu. Namun hasilnya adalah ketegangan kelas tinggi. Dengan intensitas rasa takut yang dijahit tekun dan rapi, ditunjang akting “sakit” yang prima dari pemainnya, Hitchcock seolah hendak menunjukkan tentang bagaimana cara mengemas film psychological thriller dengan baik dan benar. Sang Master bermain-main dengan atmosfer mencekam justru pada level sugestif para penonton. Artinya, tak ada kekerasan grafis yang disajikan dengan sangat vulgar di depan mata. Darah merembes, bukan menyembur. Ada teriakan, tapi jeritannya tertahan. Tak ada musik yang berlebihan, kecuali gesekan biola yang menyayat-nyayat di adegan shower paling terkenal sepanjang sejarah sinema. Scene dan gaya scoring itu kemudian abadi, dan menjadi cetak biru untuk generasi-generasi film thriller berikutnya.

Rasanya, sudah ratusan atau bahkan ribuan review ditulis tentang mahakarya klasik Hitchcock ini. Dan alangkah ketinggalannya Anda, jika belum juga menontonnya. [BW]


funny games
Michael Haneke, Austria, 1997. Color, 108 min, French with English subtitle.

Dalam salah satu karya terbaiknya yang paling kontroversial, Michael Haneke kembali menghadirkan kritik keras atas kehidupan manusia yang serba materialistis. Sosok-sosok pengkritik ini hadir secara gamblang dalam diri dua tokoh utama ‘pembunuh’, yang tanpa belas kasihan dan rasa takut, menyerang rumah-rumah peristirahatan para kaya-raya dan memporakporandakannya secara semena-mena. Dalam film ini dapat kita saksikan betapa rasa takut dan benci para korban yang tak berdaya, bercampuk aduk layaknya segelas kopi manis yang dihidangkan dengan bumbu-bumbu permainan yang sangat ironis dan tidak lucu—meski judulnya adalah Funny Games.

Dengan shot-shot simpel yang realis dan sangat dekat dengan keseharian kita, sutradara Michael Haneke berhasil menebar rasa teror kepada pemirsa dalam kadar ramuan yang cukup untuk membuat kita diam-diam berdoa semoga hal sama tidak terjadi di ruang tengah rumah kita. Pilihannya untuk mengambil gambar–gambar statis, nyaris tanpa musik latar (kecuali di awal film, ketika musik klasik Mozart dan Handel tiba-tiba berubah jadi musik metal bising John Zorn), juga dialog-dialog cerdas tapi dingin dan sarkastik, memaksa penonton terfokus pada derita sang korban, dan mau tak mau kita bersimpati. Tapi rupanya rasa simpati penonton tak berarti apa-apa. Kelihatan sekali Haneke tak punya sedikit pun rasa belas kasihan. Penonton dibuatnya jatuh terpelanting, terinjak-injak, lalu hanyut tak tertolong di tengah lautan depresi: membuat Funny Games terasa begitu menekan dan menghibur di saat yang bersamaan.

Siapkan mental Anda. Dan tanggalkan pengharapan. Karena toh pengharapan hanya akan menghasilkan penyesalan. [AD/BW]

kineruku @ Rumah Buku
Jl. Hegarmanah 52
Bandung, 40141
Ph/F: +62.22.2039615
kineruku@yahoo.com
CP: Budi +62 856 216 5322
Tumpal +62 813 210 13134

3 Comments:

At 2:22 AM, Blogger loveable-sinner said...

sial..kenapa gw baru tau ttg kineruku skrg yah..gw suka film2 psikopat..err gw pecinta psikopat sih..ada film2 ber genre thriller-psikopat-ik lain yg direkomendasikan?
ps:i'm not a psychopath,don't worry..

 
At 9:08 PM, Blogger Kineruku said...

hi, loveable-sinner. silakan datang ke kineruku, dan melihat sendiri koleksi film-film psikopat kami. *grin*

 
At 10:54 PM, Blogger loveable-sinner said...

hehe..mau banget..tapi jo, secara gw bertempat tinggal(a.k.a kost) di gurun nun jauh dr bandung nun dekat dari sumedang...yep jatinangor..kayaknya gw harus ngumpulin niat dan tekad yang kuat buat ksana...hix..nasib..

ps:iyah tau kok ttg ur private blog..dah baca juga..badu paling jahat yah?love him..salam yah ;p

 

Post a Comment

<< Home