Monday, May 15, 2006

May 2006 Monthly Screening: DOGME 95: Breaking the New Waves!

Terlepas dari selentingan kabar bahwa Vow of Chasity alias Manifesto DOGME 95 (terlampir di bawah) ditulis Thomas Vinterberg dan Lars von Trier hanya dalam waktu 25 menit diiringi tawa ngawur keduanya, tak dapat dipungkiri gerakan ini telah mewarnai sejarah sinema. Film-film dari seluruh dunia yang telah didaftarkan dalam gerakan DOGME 95—yang berarti dibuat berdasarkan aturan-aturannya—telah mencapai 110 judul, satu bukti gerakan ini ditanggapi secara serius.

Ketika didirikan, DOGME 95 secara jelas memposisikan dirinya melawan gerakan yang telah mapan sebelumnya. ”DOGME 95 adalah sebuah aksi penyelamatan!” Bagi Vinterberg dan von Trier, gerakan New Wave yang bermula di Prancis dengan semboyan “director as an author”—di mana film-film di zaman itu dianggap sebagai “karya lukis orisinal” sutradaranya—telah mati. Mereka menganggap konsep “author” adalah romantisme para intelek-borjuis semata, sehingga gerakan New Wave yang awalnya menjamur sebagai protes anti-borjuasi justru menjelma menjadi gerakan borjuasi.

Lalu dicanangkanlah sebuah gerakan di mana film tidak lagi dianggap sebagai “high art”: video berkualitas rendah pun bisa dijadikan mediumnya. Berhentilah menipu penonton, begitu kira-kira ajakan para pencetus DOGME 95. Berhentilah menyuguhkan ilusi dengan pendandanan berlebihan dalam produksi film: setting, aktor profesional beserta skenario yang terlalu mengekang, kamera yang terlalu canggih beserta alat bantunya yang hanya menghasilkan halusinasi semata.

Hasilnya tentu beragam. Tidak semua menarik dan berkualitas, namun dalam pemutaran bulanan kali ini, Kineruku berusaha menghadirkan contoh-contoh terbaiknya: The Celebration—karya monumental Thomas Vinterberg yang bukan hanya ’melahirkan’ DOGME 95, namun juga telah menjadi tonggak perfilman dunia; The King is Alive—sebuah eksperimentasi cerita menarik dari Kristian Levring; dan Mifune—salah satu film drama DOGME 95 terindah dan terhangat karya Soren Kragh-Jacobsen.

Selamat berpikir ulang tentang arti sinema.

Film Programer kineruku
Ariani Darmawan, Budi Warsito, Tumpal Tampubolon

====

the king is alive
Dogme #4: Kristian Levring, Sweden/Denmark/USA, 2000, 105 min, English/French with English subtitle.

Sebuah bis wisata penuh dengan turis berkulit putih dari Eropa dan Amerika terdampar kehabisan bahan bakar di gurun pasir Afrika. Tanpa makanan dan peralatan komunikasi yang memadai, mereka mencoba bertahan hidup sembari menunggu bala bantuan yang datang entah kapan. Suasana kian keruh ketika friksi-friksi di antara mereka mulai bermunculan. Naluri kebinatangan akhirnya menyeruak di antara mereka yang mencoba bertahan hidup: wisata eksotis yang dulu mereka bayangkan kini berubah menjadi undian kematian. Rasa putus asa yang mendera, pengkhianatan yang menyakitkan, dan juga dehidrasi silih berganti menyerang. Demi mengusir kengerian akan maut yang kian mendekat, mereka memutuskan untuk mengadakan pementasan teater karya Shakespeare, King Lear. Seperti layaknya kisah Lear, mereka pun harus bergulat dengan hasrat dan amarah, juga kebencian dan kesombongan. Dan tentu saja, ditambah bonus setting berupa atmosfer gurun yang ganas.

Sulit membayangkan apa yang terlintas di benak sutradara Kristian Levring ketika dia membuat film yang sarat dengan eksperimentasi plot yang menarik ini. Apapun itu, semoga saja bukan perasaan menyesal telah terlanjur menandatangani Vow of Chasity, sebab lokasi syuting yang tidak bersahabat ditambah berbagai larangan khas DOGME 95 tentu membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Tema yang dipilih pun bisa jadi tidak cukup orisinal (bayangkan Robinson Crusoe bertemu dengan Melrose Place), namun penampilan memukau assemble cast seperti Miles Anderson, David Bradley, dan Jennifer Jason Leigh, membuat film ini menjadi sayang untuk dilewatkan. Poin ekstra layak diberikan untuk lanskap-lanskap indah dari sang director of photography Jens Schlosser, terutama jika mengingat bahwa dia merekam gambar-gambar itu hanya dengan handycam dan tanpa bantuan tripod.

Menonton The King is Alive terasa seperti menengok kembali sebuah cinderamata menarik, sebentuk kenangan atas gerakan sinema yang kini hanya sayup-sayup terdengar gaungnya. [TT]

Minggu, 14 Mei 2006 / Pk. 11.00 / GRATIS / Book’s Day Out 5, Common Room Jl. Kyai Gede Utama 8, Bandung.
Jumat, 26 Mei 2006 / GRATIS / Kinoki bukan bioskop bukan coffee shop, Yogyakarta.

* * *

mifune (Mifune Sidste Sang)
Dogme #3: Søren Kragh-Jacobsen, Denmark/Sweden, 1999, 98 min, Danish with English subtitle.

Kehidupan Kresten (diperankan luar biasa oleh Anders Berthelsen), seorang pengusaha muda yang meniti karier cerah di Copenhagen tiba-tiba harus berubah drastis saat ia mendapat kabar kematian ayahnya, sehari setelah hari pernikahannya dengan anak si bos. Malu dengan kemiskinan dan cacat keluarganya, sang istri dilarang ikut serta pulang ke desa tempat dia dibesarkan. Maklum, kakak laki-lakinya adalah seorang idiot yang hidup dalam imajinasinya dengan para alien, dan mendiang ibunya mati secara misterius menggantung diri di tengah hutan. Demi mengatasi kekalangkabutannya, Kresten memasang iklan mencari pembantu rumah tangga, yang segera ditanggapi oleh seorang perempuan cantik jelita. Ketika Liva, demikian nama pembantu yang minggat dari profesinya sebagai pelacur kelas atas tersebut, mengajak adik laki-lakinya turut masuk ke dalam kehidupan mereka di desa, rahasia demi rahasia mulai terbongkar, dan drama penuh kekonyolan pun terjadi.

Tidak seperti para pendahulunya, yakni The Celebration (Thomas Vinterberg) dan The Idiots (Lars von Trier) yang lebih menitikberatkan cerita pada kritik pedas atas kaum borjuasi, Mifune menyuguhkan kisah sederhana yang hangat tanpa harus jatuh ke dalam idiom dramatisasi murahan. Walau Søren Kragh-Jacobsen, sang sutradara yang berpengalaman dalam membuat film anak ini dengan jelas menokohkan para karakternya secara klise—pria plin plan yang bijaksana, pelacur berhati emas, berandalan yang insaf—namun dia berhasil menyorot detail-detail kecil kehidupan dengan pembingkaian gambar dan arahan akting yang luar biasa natural. Kesan alamiah ini tentu dihasilkan dengan batasan-batasan Vow of Chasity, seperti: ”pengambilan gambar harus dilakukan di lokasi dan dengan kejadian (dalam akting) yang sebenar-benarnya”, dan ”kamera harus hand-held”, meski secara teknis Kragh-Jacobsen melakukan sedikit kecurangan dengan penggunaan medium film yang secara visual memberikan efek lebih indah ketimbang medium video seperti film-film DOGME 95 sebelumnya.

Secara konsep dan teknis Mifune memang tidak serevolusioner film-film DOGME 95 pendahulunya, namun cerita hangat dengan penuturan jujur dan ringan membuatnya terlalu bagus untuk dilewatkan oleh siapa pun yang percaya bahwa film, adalah obat ampuh pelipur lara. [AD]

Sabtu, 20 Mei 2006 / Pk. 15.00 / GRATIS / kineruku, Rumah Buku, Bandung.
Kamis, 25 Mei 2006 / GRATIS / Kinoki bukan bioskop bukan coffee shop, Yogyakarta.

* * *

the celebration (Festen)
Dogme #1: Thomas Vintenberg, Denmark/Sweden, 1998, 105 min, Danish/German with English subtitle.

Reuni sebuah keluarga besar bisa mengarah pada dua kemungkinan. Pesta meriah yang cerah ceria, sarat nostalgia dan gelak tawa; atau justru sebaliknya: suasana tak enak yang mengharu biru, cacat masa lalu yang bikin gerah dan para tamu yang tak betah. The Celebration lebih memilih yang kedua. Perayaan ulang tahun ke-60 seorang bapak, yang dihadiri anak, cucu, menantu, dan seluruh kerabat—acara yang harusnya menyenangkan—berubah menjadi jamuan makan malam yang absurd dan penuh kejutan yang benar-benar mengganggu. Ini bukan soal gelas yang tak sengaja pecah di tengah pesta yang khidmat. Bukan juga bocah yang tiba-tiba menangis keras pada saat doa bersama. Ini soal kesaksian menohok dari si anak sulung tentang sang bapak, dan masa lalu yang berusaha disangkal. Kalimat ”every family has a secret...” bisa jadi benar, tapi rahasia sialan macam apa yang pantas dibeberkan di depan seluruh anggota keluarga, justru di tengah makan malam yang seru dan denting gelas anggur yang beradu?

Thomas Vinterberg (sutradara sekaligus salah satu penulisnya) dengan cerdik mengembangkan basis cerita yang berpotensi klise, menjadi sebuah narasi gelap yang sangat hidup, liar, dan meletup-letup. Spontanitas hadir lewat akting natural pemainnya, dan karenanya kejujuran itu terasa dahsyat. Sebagai film pertama DOGME 95 (dan bisa jadi yang terbaik), batasan-batasan dalam Vow of Chasity justru mengoptimalkan kekuatan film ini. Resolusi gambar yang kasar, juga kamera hand-held yang bergoyang-goyang, sukses menggambarkan suasana pesta sesungguhnya—jauh dari cara syuting yang artifisial dan berusaha sempurna. Musik pengiring pesta yang diambil langsung di lokasi, menyusul paras putus asa sang MC yang selalu berusaha tersenyum di tengah kekacauan, benar-benar menambah absurditas suasana. Keresahan menjalar sepanjang film, sekaligus memaksa kita tetap berada di dalamnya. Di tangan Thomas Vinterberg, drama klasik keluarga menemukan format baru yang lebih emosional ketimbang cara penuturan versi Hollywood—atau bahkan ala New Wave sekalipun.

The Celebration jelas bukan sekadar tentang perayaan pesta. Dia lebih merayakan sebuah perlawanan, pemaknaan baru arti sinema. Meski kelak bisa jadi punah juga, setidaknya mereka pernah mencoba. Angkat gelas Anda, dan mari bersulang untuk usaha mereka. [BW]

Sabtu, 27 Mei 2006 / Pk. 15.00 / GRATIS / kineruku, Rumah Buku, Bandung.
Selasa, 23 Mei 2006 / GRATIS / Kinoki bukan bioskop bukan coffee shop, Yogyakarta.

=====

kineruku @ Rumah Buku
Jl. Hegarmanah 52
Bandung, 40141
Telp 022-2039615
kineruku@yahoo.com

======

Pemutaran di Yogyakarta bekerjasama dengan:
Kinoki bukan bioskop bukan coffeeshop
Jl.Tirtodipuran no 2
Yogyakarta
0274-384927
kontak: Elida 08174114573
kinoki.blogdrive.com

* * *

The Vow of Chastity / DOGME 95

1. Shooting must be done on location. Props and sets must not be brought in (if a particular prop is necessary for the story, a location must be chosen where this prop is to be found).

2. The sound must never be produced apart from the images or vice versa. (Music must not be used unless it occurs where the scene is being shot).

3. The camera must be hand-held. Any movement or immobility attainable in the hand is permitted. (The film must not take place where the camera is standing; shooting must take place where the film takes place).

4. The film must be in colour. Special lighting is not acceptable. (If there is too little light for exposure the scene must be cut or a single lamp be attached to the camera).

5. Optical work and filters are forbidden.

6. The film must not contain superficial action. (Murders, weapons, etc. must not occur.)

7. Temporal and geographical alienation are forbidden. (That is to say that the film takes place here and now.)

8. Genre movies are not acceptable.

9. The film format must be Academy 35 mm.

10. The director must not be credited.